Wacana Childfree Sebagai Agenda Merusak Fitrah Manusia
Wacana Childfree Sebagai Agenda Merusak Fitrah Manusia
Setiap pasangan yang telah menikah mendambakan memiliki anak. Sudah menjadi fitrah perempuan untuk mengandung dan melahirkan keturunan. Namun akhir akhir ini, ramai di pemberitaan seorang public figur memilih menikah tanpa melahirkan anak, dan ia menganggap hal itu sebagai keputusan yang tepat. Secara sederhana childfree diartikan sebagai paham yang meyakini bahwa dalam suatu pernikahan atau keluarga tidak perlu memiliki anak. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil., childfree merupakan buah pemikiran feminis yang tidak mau sibuk dengan urusan anak. Berdasarkan asas kesetaraan yang diyakini para feminis, laki laki dan perempuan harus memiliki beban yang sama. Paham ini yang kemudian melahirkan pandangan bahwa aktivitas melahirkan, menyusui, merawat anak merupakan hal yang merepotkan perempuan. Padahal apabila dilihat dari kacamata Islam, aktivitas tersebut merupakan ibadah dan bentuk ibadah perempuan sebagai ro’iyyatun fii baitihaa (pemimpin rumah tangga).
Respon masyarakat Indonesia terhadap childfree juga beragam, ada yang pro, kontra bahkan netral. Kalangan pro mendukung keputusan childfree atas dasar hak asasi manusia, kebebasan memilih jalan hidup. Sesuai dengan prinsip paham liberal yang mencita-citakan masyarakat yang bebas, bebas berpikir dan bertindak apa saja. Kalangan yang kontra menolak childfree karena menyimpang dari fitrah, tidak sesuai dengan ajaran agama dan apa yang tertulis dalam Al Qur’an. Sedang kalangan yang netral berada di tengah tengah tidak menolak atau mendukung childfree karena memang tidak paham atau tidak peduli dengan fenomena yang sedang terjadi.
Fenomena childfree ini menarik untuk dikaji lebih dalam dengan menggunakan pendekatan normatif hukum Islam, karena sebagaimana yang diketahui dalam Islam, anak dipandang sebagai sebuah anugerah. Tulisan ini akan membahas bagaimana pandangan Islam terhadap childfree dan sikap yang seharusnya kita miliki terhadap fenomena childfree.
Pembahasan
Seorang profesor sejarah di Universitas Xavier, Rachel Chrastil menulis buku berjudul “How to be Childless: A History and Philosophy of Life Without Children”. Ia mengulas tulisannya di Washington post September 2019 dan menjelaskan bahwa konsep childfree bukanlah hal baru. Pada awal 1500an, perempuan desa dan kota wilayah Barat Laut Eropa mulai menunda pernikahan. Pada tahun 1800 an di Amerika, perempuan cenderung memilih menjadi independen dan bebas dari anak.
Sekitar tahun 1973 di Amerika Serikat ada gerakan international childfree atau hari tanpa anak internasional yang dikampanyekan oleh National Alliance for Optional Parenthood. Pada awalnya childfree di Amerika Serikat bertujuan mengumpulkan dan menghibur pasangan yang mendapatkan cemoohan dan kritik karena memutuskan tidak ingin memiliki anak. Organisasi ini didirikan pada tahun 1972 di California untuk menyebarluaskan dan menormalkan gagasan bahwa orang dapat memilih untuk tidak memiliki anak. Perayaan hari itu dihidupkan kembali pada tahun 2013 oleh Laura Carroll karena pasangan di seluruh dunia masih menghadapi kritik, penolakan, dan kadang-kadang amarah dari orang lain ketika mereka memutuskan childfree. Kemudian pada tahun 2020 Elizabeth Hintz, seorang calon dokter Amerika, memenangkan penghargaan tahunan Non-Parent of the Year. Elizabeth Hintz adalah seorang akademisi childfree yang telah mendedikasikan karir profesionalnya untuk memahami dan menormalisasi childfree.
Childfree sebenarnya bukanlah konsep baru. Konsep ini lahir dari individualisme, feminisme dan pesimisme. Isu kebutuhan perempuan yang dibawa kaum feminisme seperti pada kampanye “My body my choice” memiliki definisi hak mutlak perempuan untuk mengelola organ reproduksinya sendiri tanpa intervensi agama dan negara. Kaum feminis mencari alasan faktor fertility atau kesuburan sebagai penyebab perempuan mengalami marginalisasi, diskriminasi dan kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian menjadi pembenaran kampanye childfree.
Childfree memiliki pengertian yang berbeda dengan childless. Childless atau involuntary childlessness adalah mereka yang menginginkan anak tetapi tidak memungkinkan untuk memiliki anak karena alasan biologis, psikologis, ekonomi, dsb. Mereka yang mengadopsi anak dikategorikan sebagai childless. Dalam bukunya “How to Be Childless”, Crastil mengatakan tren childfree tidak hanya terjadi di zaman modern saja, pilihan childfree sudah terjadi di Eropa sekitar tahun 1500-an. Pada abad ke-19 gaya hidup childfree dan childless meningkat kemudian mengembangkan pengetahuan tentang pengendalian kelahiran (birth control) menggunakan alat kontrasepsi.
Childfree di Indonesia ramai diperbincangkan saat salah satu influencer dan juga youtuber Gita Savitri yang kemudian menimbulkan pro kontra di masyarakat terkait pilihan untuk tidak memiliki anak. Gita Savitri mengaku bahwa dirinya dengan suaminya telah sepakat untuk childfree karena memang sedari awal mereka berdua tidak ada rencana untuk memiliki anak (Kartikawati, 2021). Menurutnya memiliki anak bukanlah suatu kebetulan yang terjadi begitu saja sehingga ranah pilihan sangat mungkin ada dan hidup akan lebih mudah jika tidak memiliki anak, seperti yang dikatakannya dalam Insta-story miliknya: “di kamus idup gw, “tiba-tiba dikasih” is very unlikely (sangat tidak mungkin). IMO (In My Opinion/menurutku) lebih gampang gak punya anak daripada punya anak, karena banyak banget hal preventif yang bisa dilakukan untuk tidak punya” (Nursaniyah, 2021).
Mengutip dari Media Indonesia, “Dari data world bank tren angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan, pada tahun 2019 angka kelahiran kasar per 1000 penduduk di Indonesia 17,75. Data ini didukung oleh hasil sensus penduduk yang dikeluarkan BPS dimana ada penurunan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2010-2020 menunjukan angka 1,25% menurun dari periode sebelumnya pada tahun 2000-2010 menunjukan angka 1,49%.” Data penurunan kelahiran tersebut diperkuat dengan munculnya fenomena childfree. Banyak faktor yang membuat seseorang memutuskan tidak memiliki anak seperti faktor ekonomi, psikologis, dan lingkungan sampai pesimis tentang kehidupan anak. Victoria Tunggono penulis buku Childfree & Happy mengatakan, apabila ingin menjadi orang tua tidak cukup dengan siap dalam hal materi dan fisik saja, tetapi juga harus ada kesiapan mental untuk melayani anaknya kelak.
Banyak orang maupun pasangan di negara Barat mengikuti tren childfree, seperti di Belgia, Belanda, Swedia dan Amerika Serikat. Mereka semakin terbuka dengan gaya hidup childfree yang mereka jalani. Sementara di negara asia seperti Jepang, childfree sudah mulai digunakan sejak 21 tahun terakhir. Maeda Masako, beliau adalah profesor sekolah manajemen di Konan University, pada tahun 2019 menulis artikel mengenai gambaran masa depan Jepang sebagai masyarakat tanpa anak dan masyarakat yang menua. "Angka kelahiran di Jepang merosot tajam meski jumlah pendaftaran penitipan anak meningkat. Ketergantungan yang berlebihan pada pekerjaan yang ditentukan oleh gender dan persepsi yang tertanam kuat tentang pengasuhan anak sebagai tanggung jawab individu—lebih tepatnya tanggung jawab wanita—menempatkan negara (Jepang) di jalur menuju masyarakat tanpa anak dan masyarakat yang menua." Maeda menyebutkan Jepang sebagai salah satu negara Asia dengan angka kelahiran yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Ini dikarenakan penurunan angka pendapatan rumah tangga yang membuat perempuan harus ikut bekerja mendukung suami. Akibatnya, anak-anak terlantar di rumah. Pemerintah lalu mengatasinya dengan meningkatkan fasilitas penitipan anak bagi orang tua yang bekerja melalui penerapan Angel Plan pada 1994.
Fenomena di Jepang bukan satu-satunya di dunia, meski kasusnya berbeda di tiap negara. Di Eropa, penyebab umum gaya hidup childfree lebih dititikberatkan pada norma dan nilai yang berkembang di masyarakat. Selain faktor ekonomi, orang-orang juga memikirkan kebebasan yang didapat dari kehidupan yang tidak melibatkan kehadiran anak. Sebuah artikel di laman Population Europe menyebutkan: "Sejauh ini, temuan telah menunjukkan bahwa bagi kebanyakan orang dewasa muda di Eropa, kondisi tidak memiliki anak tidak didasarkan pada niat atau keinginan yang disengaja untuk tetap tidak memiliki anak, tetapi sebagai penundaan sementara menjadi orang tua. Selain itu, tidak ada peningkatan substansial dalam hal tidak memiliki anak ideal atau disengaja selama dekade terakhir.”
Semakin ke sini, gaya hidup childfree bukanlah sesuatu yang aneh atau langka. Rachel Chrastil mengungkapkan bahwa “Ada sekitar 15% wanita berusia 45 tahun di Amerika Serikat yang tidak mempunyai anak.” Berarti pelakunya merupakan satu dari tujuh perempuan di Amerika. Di negara seperti Jerman dan Swiss, jumlah pasangan yang tidak memiliki momongan jauh lebih tinggi, sekitar 1 dari 4 penduduk. Adapun di Indonesia, seorang yang memilih childfree mendapatkan stigma negatif dari masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya timur.
Provokasi feminis bahwa perempuan mengalami diskriminasi karena berketurunan berdampak negatif dalam kehidupan bernegara, hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk semakin merosot. Sistem keluarga dan sosial di Barat memunculkan krisis penduduk. Pada tahun 2012 negara Jerman khawatir karena rendahnya angka pertumbuhan penduduk di negaranya. Angka kelahiran bayi di Jerman menempati angka terendah diantara negara di dunia. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan kekhawatiran terhadap persoalan populasi negara Jerman di masa depan.
Pernikahan dalam Islam bukan hanya untuk menyalurkan gharizah nau atau hasrat seksual kepada pasangan. Dan ketika dalam pernikahan dikaruni anak juga bukan hanya soal meneruskan keturunan. Tujuan pernikahan dan punya anak untuk menjadikan anak anak dan keturunan bagian dari orang orang yang memajukan umat Islam dan mengembalikan kekuatan umat muslim. Karena kita tidak tahu kejayaan Islam ada dimasa anak kita atau keturunan kita. Pilihan menjadi childfree bukan hanya karena alasan hak manusiawi, tetapi juga usaha memutus kehidupan dari agama, paham materialisme ekstrim. Sehingga keputusan childfree seolah-olah pasangan suami istri lah yang mempunyai hak mutlak untuk menentukan ingin memiliki anak atau tidak. Dalam agama ketika laki laki dan perempuan memutuskan menikah, mereka mengharapkan keturunan, karena salah satu tujuan pernikahan adalah memiliki keturunan. Memiliki anak merupakan fitrah manusia.
Di tinjau dari perspektif tafsir Ustadz Rochmad, M.A menyatakan bahwa istilah childfree sebenarnya tidak ada dalam al-Qur’an. Namun, dalam studi tafsir, apabila tidak ditemukan lafadz secara sharih, maka penafsiran dapat diambil melalui pemaknaan, hukum dan maqashid. Dalam Al-Qur’an ditemukan banyak perintah untuk memperbanyak anak. Dalam QS An Nahl ayat 72, Allah berfirman, “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”. Rasulullah saw juga bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad).
Dapat kita tarik kesimpulan dari ayat dan hadist tersebut bahwa ketika memutuskan untuk menikah maka disertai niat memiliki keturunan yang disiapkan menjadi generasi baik. Imam al-Ghazali berpendapat dalam Ihya Ulumuddin jilid 2, bab huruf shod halaman 25: “Upaya untuk memiliki keturunan menjadi sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tidak ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak menikah. Pertama, mencari ridha Allah dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi saw dengan memperbanyak keturunan yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.
Mereka yang memutuskan childfree dengan paradigma materialisme, takut miskin, takut anak, takut tidak bahagia, takut anak menjadi beban dsb tidak sesuai dengan nilai agama. Apabila suami istri sehat, memiliki peluang memiliki anak, tidak mempunyai penyakit, maka dilarang menutup jalan keturunan.
Memiliki anak juga bentuk adab bagi orang tua. Mendidik anak dalam Islam harus dengan Islamic Worldview dan akhlak yang benar. Pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak merupakan bentuk ibadah. Mengutip pendapat KH. M. Hasyim Asy’ari ; “Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik”.
Pelaku childfree adalah generasi yang pendek cita-cita. Tren childfree adalah salah satu bentuk kampanye agar childfree dapat diterima oleh masyarakat. Bahayanya, apabila sesuatu yang berkebalikan dengan fitrah diterima, maka akan merusak fitrah itu sendiri. Umat Islam berhak untuk menentang konsep ini dan membentengi generasi muslim dari pemikiran-pemikiran maupun konsep berbahaya.
Kesimpulan
Dalam Islam pernikahan adalah ibadah yang menyempurnakan agama. Anak merupakan investasi orang tua untuk melanjutkan amal jariyah. Dan keluarga menjadi mihrab untuk mendekatkan diri kepada Allah. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang bertanggung jawab menciptakan peradaban.
Memiliki keturunan merupakan merupakan anjuran dalam Islam. Anak adalah amanah. Apabila manusia tahu tujuan manusia hidup memiliki anak merupakan bentuk meningkatkan ibadah atau taqarrub kepada Allah SWT. Dalam pandangan Islam, mengandung, melahirkan, mengasuh, menyusui anak, dan memberikan berbagai hal yang bermanfaat kepada anak adalah ibadah. Seperti yang dikatakan Dr. Adian Husaini, M.Si memilih childfree merupakan bentuk kegagalan dalam memahami “Islamic Worldview” tentang keluarga dan tidak beradab karena menyalahi fitrah manusia.
Seharusnya setiap pasangan mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan childfree. Apabila masih mampu sepantasnya memiliki anak, jika kondisi tidak mampu karena alasan darurat maka childfree dapat dimaklumi. Kendati demikian memiliki anak lebih beradab dalam Islam.
Daftar Pustaka
Carroll, L. (2022, August 1). INTERNATIONAL CHILDFREE DAY - August 1, 2022. National Today. Retrieved August 26, 2022, from https://nationaltoday.com/international-childfree-day/
Childfree dalam Pandangan Syara'. (2021, August 23). INSISTS. Retrieved August 26, 2022, from https://insists.id/childfree-dalam-pandangan-syara/
Childfree: Kegagalan Manusia Modern Menggambarkan Keluarga Ideal. (n.d.). Universitas Darussalam Gontor. Retrieved August 26, 2022, from https://unida.gontor.ac.id/childfree-kegagalan-manusia-modern-menggambarkan-keluarga-ideal/
Childfree, Kegagalan Memahami Islamic Worldview. (2022, February 17). Dunia Santri. Retrieved August 28, 2022, from https://www.duniasantri.co/childfree-kegagalan-memahami-islamic-worldview/?singlepage=1
Childfree Produk Feminisme, Konsep Generasi Pendek Akal. (2021, August 26). Indonesiainside.id. Retrieved August 26, 2022, from https://indonesiainside.id/narasi/2021/08/26/childfree-produk-feminisme-konsep-generasi-pendek-akal
Childfree: Produk Individualisme, Feminisme atau Pesimisme? (2021, September 6). Gontornews. Retrieved August 26, 2022, from https://gontornews.com/childfree-produk-individualisme-feminisme-atau-pesimisme/
Fenomena Childfree di Indonesia. (2021, September 2). Epaper Media Indonesia. Retrieved August 26, 2022, from https://epaper.mediaindonesia.com/detail/fenomena-childfree-di-indonesia
Haganta, K., Arrasy, F., & Masruroh, S. A. (2022). Manusia, terlalu (banyak) Manusia: Kontroversi Childfree di Tengah Alasan Agama, Sains, dan Krisis Ekologi. 4.
Marfia, S. M. (2022, Januari). TREN CHILDFREE SEBAGAI PILIHAN HIDUP MASYARAKAT KONTEMPORER DITINJAU DARI PERSPEKTIF PILIHAN RASIONAL (Analisis Pada Media Sosial Facebook Grup Childfree Indonesia). http://digilib.uinsby.ac.id/http://digilib.uinsby.ac.id/http://digilib.uinsby.ac.id/
MENGAPA DISKUSI CHILDFREE MARAK. (2021, August 31). Adian Husaini. Retrieved August 28, 2022, from https://www.adianhusaini.id/detailpost/mengapa-diskusi-childfree-marak
Menjadi Perempuan Tanpa Anak: Childless dan Childfree. (2021, May 4). Mubadalah.id. Retrieved August 26, 2022, from https://mubadalah.id/menjadi-perempuan-tanpa-anak-childless-dan-childfree/
Nur Rifa Da'i, R. A. (2021, September 4). Ustadz Adian Husaini: Childfree, Adab Berkeluarga, dan Fitrah Manusia. Program Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor. Retrieved August 26, 2022, from https://pps.unida.gontor.ac.id/adian-husaini-childfree/
Polemik Childfree dalam Pandangan Al-Qur'an (FASSIR UNIDA PUTRI). (n.d.). iqt unida. Retrieved August 28, 2022, from https://iqt.unida.gontor.ac.id/polemik-childfree-dalam-pandangan-al-quran-fassir-unida-putri/
Tunggono, V. (2021). Childfree And Happy. EA Books.
View of Childfree Dalam Pandangan Islam. (n.d.). Journal UII. Retrieved August 28, 2022, from https://journal.uii.ac.id/JSYH/article/view/21959/13751
The Winners! The 2020 Childfree Person & Group of the Year! (2020, July 31). International Childfree Day. Retrieved August 26, 2022, from https://internationalchildfreeday.com/2020-childfree-winners/
Komentar
Posting Komentar