Bagaimana umat terbaik itu bercita cita?
Bagaimana umat terbaik itu bercita cita?
Sebuah catatan dari webinar Dr.Fika Komara
Kita hidup di era digital yang berbeda dengan era keemasan peradaban Islam. Kaum Muslimin pada masa itu menjadi umat terbaik di zamannya, mereka mengambil peran besar, mereka berani bercita cita. Pada situasi sekarang kita temui untuk berani bercita cita saja dipengaruhi realitas yang suram dan dipengaruhi nilai materialistik. Sangat penting memaknai kembali dan menempatkan bagaimana pesona pesan Islam yang kita warisi dalam situasi tantangan di era kontemporer.
Pengemban dakwah harus bercita cita besar
"Ketahuilah dan pahamilah dakwah tidak akan mampu memikul tanggung jawab dan kewajiban kewajibannya tanpa menanamkan pada dirinya cita cita untuk mengarahkan pada jalan kesempurnaan, selalu mengkaji dan mencari kebenaran." Syaikh Taqiyuddin an Nabhani
Tidak merasa puas mengkaji ilmu meskipun usia bertambah dan beban keluarga bertambah. Di tengah situasi dan siklus kehidupan yang semakin berat tentu tidak membuat kita berhenti mencari kebenaran, menyempurnakan amal sholih, ilmu dan kemapuan kita agar amal ini dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah dengan sebaik baik pertanggungjawaban.
Jangan takut bercita cita besar. Ingatlah nasehat ulama.
Ada sebuah kisah di suatu tempat yang sangat kaya sumber dayanya namun mentalitas rakyat nya tidak memiliki cita cita tinggi. Malahan disana ada eksploitasi sumber daya alam, kemiskinan dan kebodohan dan ini terus menjadi lingkaran mata setan. Bencana alam dan kerusakan lingkungan tidak ada apa apanya dibandingkan dengan kerusakan sumber daya manusia, kerusakan mentalitas masyarakat nya. Akhirnya terus menjadi buruk di negeri sendiri dengan mentalitas inferior dan selalu tunduk dan mudah diperalat oleh bangsa asing. Karena itu bercita cita untuk menjadi tuan di tanah sendiri tidaklah berlebihan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَأُولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُونَ
"Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."
(QS. An-Nur 24: Ayat 55)
Mungkin kamu pernah merasakan, saat kecil kita disuguhkan dengan agama yang hanya sebatas ritual saat memasuki dunia perkuliahan dan masuk dalam lembaga dakwah saat itu kita sudah baligh dan berakal, kita mulai mempertanyakan tentang hidup kita, mau kemana kita setelah hidup, untuk apa kita hidup, dan dari mana kita berasal. Banyak fakta yang kontradiktif saat kita mempelajari Islam dan saat kita terus mencari, banyak hal yang tidak sesuai dengan idealisme kita. Pergulatan hati dan pikiran kita ini perlu dibimbing dengan iman, pemahaman, dan lingkungan dakwah yang benar
Kita memahami bahwa peradaban saat ini terbentuk dari peradaban sekuler yang berasal Barat. Makna kesuksesan kesenangan dan materi, kuliah untuk dapet duit, dapet gaji tinggi, bisa mendirikan bisnis startup yang bisa menghasilkan pundi pundi uang. Akhirnya bercita cita untuk Islam pada situasi saat ini tidak populer, tidak menguntungkan, karena tidak memahami apa yang diajarkan Islam. Kapitalisme sudah memangsa dunia pendidikan, mengkerdilkan cita cita ilmu pemuda muslim yang hanya sekedar mendapatkan pekerjaan, mengkerdilkan harapan orang tua terhadap anak anaknya.
Sebenarnya apa itu cita cita besar?
Cita cita tidak bisa terlepas dari identitas hidup. Cita cita berdasar pada akidah Islam, tujuan hidup apa. Cita cita yang besar harus diimbangi dengan kekuatan mental dan kekokohan jiwa. Penyakit orang modern anxiety, kecemasan dan depresi. Makna kebahagiaan hanya berdasar penghasilan dan kekayaan, hal ini perlu dikritisi. Seorang muslim harus berpikir kritis terhadap nilai nilai yang ada di masyarakat.
Siapa kita? Orang beriman hamba Allah yang memiliki tujuan hidup untuk beribadah dan memperjuangkan Sunnah Rasulullah agar kembali tegak. Kesuksesan hidup dan makna hidup dalam Islam adalah ridho Allah terlepas punya materi atau tidak.
Cita cita itu berpulang pada kemampuan kita menemukan jati diri kita, berangkat dau jawaban tujuan hidup dan bagaimana kita memaknai kesuksesan dan makna kebahagiaan. Nilai manusia ditentukan oleh apa yang ia cari. Kekuatan materi adalah kekayaan yang paling rendah. Apa yang kita cari menentukan kedudukan kita mencerminkan diri kita.
Ketika hari ini, peranan seorang muslimah diiming imingi kesuksesan karir ala Barat finansial mapan, keluarga mapan, keluarga harmonis hanyalah ilusi. Karena kesuksesan yang diperolehnya hanya fokus diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Hanya ingin menyenangkan diri sendiri namun ia tidak tahu kontribusi atau manfaat apa yang bisa dikasih untuk orang lain. Manusia bersifat individualis, terfokus pada egosentris, memang sudah watak manusia saling membanggakan diri anak dan harta ketika tidak dikendalikan oleh pemahaman akhirnya terfokus pada egoisme individual, keluarga, kelompok, dan mengabaikan penderitaan orang lain.
Islam meminta kita untuk bercita cita besar. Kuncinya kita yakin bahwa Allah akan membukakan pintu kebaikan dan kemudahan untuk cita cita kita. Pada masa keemasan Islam lahir generasi Islam yang punya cita cita besar dan tidak tunduk pada dunia, para sahabat Rasulullah mampu menaklukkan dunia, pada masa Shalahuddin Al Ayyubi mampu membebaskan Palestina, pada masa Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel, mereka semua generasi yang memahami kesetiaannya terhadap Allah dan Rasul. Generasi terbaik adalah mereka yang berpikir untuk umat, ingin mengembalikan kehidupan sesuai syariat Islam.
Abdullah bin Zubair, “Saya ingin kekhilafahan.”
Urwah bin zubair, “Saya ingin menjadi tempat masyarakat ini mengambil ilmu.”
Mush’ab bin Zubair, ”Saya ingin menjadi Amir Iraq dan menikahi Aisyah binti Thalhah dan Sukainah binti Husain.”
Abdullah bin Umar, “Aku ingin Allah mengampuniku.”
Waktu pun berlalu, cita-cita tulus yang mereka katakan ternyata Allah sampaikan pada takdirnya. Abdullah bin Zubair benar-benar menjadi khalifah selama kurang lebih sembilan tahun. ‘Urwah sungguh menjadi ulama besar di Kota Madinah. Mush’ab pun benar menjadi pemimpin di Iraq dan bisa menikahi dua wanita sholihah yang sangat cerdas dan cantik. Allah izinkan harapan-harapan itu terwujud. Keinginan yang belum bisa kita lihat adalah ketercapaian cita-cita Abdullah bin Umar. Allah yang memiliki segala rahasia. Apakah Allah mengampuni dosa-dosa Abdullah bin Umar seperti yang disampaikan di majelis itu? Tapi Imam Adz Dzahabi rahimahullah menuliskan keyakinannya bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa Abdullah bin Umar sebagaimana yang ia inginkan.
Merekalah pemuda-pemuda dengan sentuhan Nabi yang ditempa dengan keimanan dan Quran. Para pemuda yang dibina dengan pendidikan terbaik. Mereka tumbuh menjadi pemuda yang berani bercita-cita dan mewujudkan apa yang mereka inginkan. Dengan keimanan yang menghujam, yakin seutuhnya atas izin dan pertolongan Allah. Maka ini jadi PR para orang tua dan pendidik untuk melahirkan kembali generasi gemilang seperti ini.
Cita cita kepemimpinan yang dicontohkan oleh generasi sahabat dan para pemimpin Khulafaur Rasyidin adalah cita cita besar yang melampaui profesi apapun. Profesi yang kita kenal menjadi dokter, insinyur, guru, ahli komputer hanyalah atribut sekunder dalam masyarakat Islam. Semua profesi tersebut bukan termasuk cita cita yang tinggi uluwwuh himmah.
Kita harus punya cita cita besar minimal di tiga titik ini,
Keilmuan Islam. Tantangan keilmuan adalah sekularisasi ilmu. Di satu sisi orang yang belajar ilmu agama dianggap tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak bisa merespon isu isu publik, agama cukup di pesantren dan masjid saja, tidak bisa tampil di depan. Agamawan tidak menjadi rujukan politik saat ini, hanya menjadi rujukan masalah agama. Maka ketika kita belajar ilmu Islam harus dikaitkan dengan persoalan kekinian agar Islam selalu hadir di ruang publik.
Opini dakwah. Cita cita yang berfokus bagaimana opini dakwah dapat tersebar di tengah umat.
Sebagai ibu, pendidik generasi. Bagaimana kita sebagai ibu generasi senantiasa memperhatikan persoalan tanah kaum muslimin (di daerah kaya selalu ada problem sumber daya manusia nya), kalo kita bisa menyiapkan generasi yang mampu mengolah kekayaan tanahnya sendiri dan sensitif terhadap musuh Islam ini yang sebenarnya kita butuhkan.
Sistem Islam yang memiliki politik ekonomi yang clear akan menciptakan generasi yang memiliki imun terhadap virus pragmatisme yang tidak hanya memikirkan masalah perut.
Nahnu Du'at Qobla Kulli Syai'in
Slogan ini mengingatkan kita sebagai aktivis dakwah bahwa sebagai apa dan menjadi apa pun kita, misi dakwah tidak boleh dilupakan.
"Cita cita kita banyak, namun yang sering kita abaikan adalah mencita-citakan kewajiban kita."
Fika Komara
Maka kita sebagai muslimah menjalankan sebaik baik peran kita sebagai ibu yaitu menyiapkan generasi pemimpin umat merupakan bagian dari mencita citakan kewajiban kita.
Beranikah kita bercita cita besar?
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوٰجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
"Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."
(QS. Al-Furqan 25: Ayat 74)
Komentar
Posting Komentar