3265 MDPL

3265 MDPL

Embun masih menetes dan kabut masih menyelimuti pagi. Dingin yang datang bersama angin menyusup menusuk tulang. Burung burung berkicau di balik pohon yang rindang dan menari nari menggoda selayaknya mendengar nyanyian. Udara pagi kuhirup dalam dalam ditemani teh hangat dan pisang goreng panas setelah dari penggorengan. Teringat tepat di bulan yang sama Oktober tahun 2018, kala itu bertepatan tanggal 28 Oktober hari Sumpah Pemuda. Aku turut mengibarkan bendera merah putih di ketinggian 3625 MDPL. Kisahnya sangat berkesan dalam hidupku hingga tak pernah kulupakan. 


27 Oktober 2018

Pagi itu aku berpamitan Bapak dan Ibuk untuk mengikuti kegiatan camping di Sekipan, Tawangmangu untuk mengikuti kegiatan dalam peringatan hari sumpah pemuda. Waktu itu aku ditunjuk oleh ketua karang taruna untuk mewakili desa Tugu dalam acara tersebut. Pukul 6 pagi kubawa ransel pendakian lengkap dengan peralatannya. Waktu itu ada keinginan besar untuk mengikuti upacara di puncak namun Ibu tidak mengizinkan, namun aku begitu nekat dan memutuskan mengikuti seleksi pendakian. Akhirnya aku lulus seleksi padahal waktu itu aku masih merasa kelelahan karena semalam baru pulang dari Yogyakarta. 

Waktu itu dengan sok yakin, sok kuat padahal tubuh merasa lelah, aku mengambil keputusan untuk membuat tubuhku semakin lelah, ingin melihat pemandangan alam ciptaan Tuhan dan mengambil banyak pelajaran dari perjalan mendaki. Aku selalu ingin merasakan bagaimana diri ini bias sampai puncak, lebih dekat dengan alam, dan lebih dekat dengan Sang Pencipta dan merenungi kehidupan lebih dalam.

Pendakian dilakukan setelah sholat Isya. Ditengah gelap malam dan ramainya suara hewan malam. Kami dibagi beberapa kelompok. Kelompokku terdiri dari 10 orang, 3 orang putri, 6 putra dan 1 anak gunung lawu. Aku termasuk pendaki pemula dan pendakian ini menjadi pendakian pertama kali dalam hidupku. Awalnya aku sempat ragu apakah aku mampu mengimbangi teman teman lain yang sudah sering mendaki. Dan yang terjadi, di awal awal pendakian, 30 menit setelah kami melakukan doa bersama, keringatku bercucuran, detak jantung semakin kencang, langkah kaki mulai berat, nafas mulai terengah engah, meskipun jalanan belum begitu menanjak tapi cukup menguras tenaga, rasa ingin muntah membuatku rasanya ingin kembali saja ke tenda, tidur dan menikmati dinginnya malam.

Basecamp - pos 1 Taman Sari Bawah,

Kami menaiki anak tangga terlebih dahulu. Karena jalur Cemoro Kandang sering dilewati para peziarah untuk melakukan ritual pada waktu-waktu tertentu. Setelah itu kami memasuki hutan dan jalanan masih cukup landai. Berjalan sekitar 2 jam, kita sudah sampai di pos 1, sebuah tempat bernama Taman Sari Bawah yang berada pada ketinggian 2.237 mdpl. Saat berada di pos 1, kami beristirahat di sebuah bangunan yang cukup besar atau di area tanah datar berkapasitas dua tenda. Di pos ini, 2 orang dari rombongan kami turun karena tidak sanggup melanjutkan pendakian. Salah satu pendaki bertanya padauk. “Dek, masih kuat?” aku menjawabnya dengan senyuman semangat, begitu naifnya aku waktu itu. Padahal tubuhku sudah merasa pegal pegal, “Hah bagaimana nanti sampai di puncak sedangkan baru di pos satu saja aku sangat kelelahan”, gumamku dalam hati dan setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Malam semakin gelap, daya senter mulai menurun tapi tetap menyala dengan baik.

Pos 1 Taman Sari Bawah – Pos 2 Taman Sari Atas

Perjalanan berlanjut menuju pos 2, track semakin menanjak, pemandangan berupa hutan yang rimbun, tercium bau belerang dan terkadang suara gemuruh kawah Candradimuka terdengar di telinga. Waktu tempuh perjalanan ini sekitar 1,5 jam. Sama halnya dengan pos 1, di pos 2 pun terdapat pondok kayu yang lumayan besar untuk menjadi tempat istirahat. Aku ingat betul kala itu langsung kujatuhkan badanku di atas tanah karena begitu sangat lelah, mata yang harus nya diistirahatkan namun harus terjaga agar bisa melihat indahnya sunrise di puncak Hargo Dumilah. Setelah beristirahat kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos 3.

Pos 2 Taman Sari Atas – Pos 3 Penggik

Perjalanan menuju pos 3 diawali dengan melewati sebuah sungai kecil, selanjutnya jalur lumayan ekstrim karena pinggirannya berupa jurang yang menganga. Di tengah perjalanan, kami menemukan jalan bercabang, meskipun tujuannya sama, yaitu pos 3. Namun perbedaannya adalah jalur satu melewati track terjal yang singkat dan jalur satunya melewati jalur landai yang panjang. Tentulah aku memilih jalur landai yang membutuhkan waktu lebih lama, sampai akhirnya rombongan kami terpisah pisah, aku bersama 3, Mas Ucup anak gunung lawu, Mba Windi dan Mas Wawan. Dan yang lain lainnya sudah duluan.

Setelah berjalan sekitar 3 jam, kami sampai di pos 3 yang ditandai dengan adanya bangunan kecil, hanya mampu menampung 1 tenda saja. Saat berada di pos yang bernama Penggik ini, Aku sangat terpukau melihat pemandangan alam yang luar biasa, kelap kelip lampu kota, rembulan yang bersinar terang dna langit penuh bintang bintang. Kami banyak bercerita selama perjalanan, dan mulai menikmati pendakian.

Pos 3 Penggik – Pos 4 Cokro Suryo

Menuju pos 4, track tidak banyak berubah, masih berupa tanjakan yang konstan, mengitari sebuah bukit, aku melihat banyak bunga Edelweis pinggiran track, katanya bunga ini abadi tapi entahlah kami para pendaki tidak diijinkan untuk memetiknya. Sesampainya di pos 4, ada bangunan gubuk yang keadaannya memprihatinkan dan beberapa memoriam untuk mengenang para pendaki yang gugur saat mendaki gunung Lawu. Disini kakiku mulai kaku, keram, suhu udara juga semakin menurun hingga rasa panas dari minyak urut dan koyo tak bisa kurasakan. Aku mulai menggigil di pos ini, aku enggan beristirahat karena jika hanya diam aku semakin menggigil. Akhirnya aku kembali berjalan ditemani Mas Ucup, aku tidak peduli meski rasa Lelah semakin bertambah namun apadaya aku tak kuat menahan dinginnya udara malam.

Pos 4 Cokro Suryo – Pos 5 Prapatan 

Perjalanan menuju pos 5 sangat bervariasi, ada track menurun, datar, menanjak dan jalan buatan. Mendekati pos 5, jalanan akan menanjak sedikit tajam. Setelah berjalan sekitar 1,5 jam, kami sampai di pos 5, satu-satunya pos pendakian di gunung Lawu yang tidak memiliki bangunan. Selain itu, pos dengan nama Perapatan ini merupakan persimpangan jalan. Arah kanan menuju Hargo Dumilah, kiri ke Hargo Tiling dan Lurus untuk menuju Hargo Dalem. Kalau tidak salah disini kami memutuskan mendirikan tenda untuk beristirahat, dan membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Disana kami bersama dengan pendaki lain tapi mereka semua laki laki. Sebagai satu satunya perempuan aku dipersilahkan untuk beristirahat di tenda, namun aku menolaknya dan memutuskan ingin turut menikmati panas api yang membakar kayu dan barang barang bekas yang kami temukan di sekitar pos. Disini aku dan Mas Ucup bertemu lagi dengan Mba Windi dan Mas Wawan, akhirnya kami berempat memutuskan melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan matahari mulai menampak sinarnya lewat celah celah dedauan, kami bertayamum dan melakukan sholat tempat datar yang pas untuk sholat.

Pos 5 Prapatan – Hargo Dalem 

Dari pos 5 menuju puncak Dalem cukup dekat, sekitar 30 menit perjalanan, saat sampai di puncak Hargo Dalem, di sana terdapat petilasan Prabu Brawijaya dan warung Mbok Yem yang legendaris, sebuah warung tertinggi di Indonesia yang menyediakan berbagai macam makanan, termasuk pecel lele, dan aneka jenis minuman, termasuk es teh. Kami Bersama rombongan lain sarapan bersama, wajah wajah para pendaki mulai kelihatan, kami semua cemong karena debu debu bahkan hidung kami sangat kotor. Aku tak berhenti melihat muka muka pendaki yang lelah dan kusut semua. Tapi di dekat warung pemandangan nya sangat indah, rasanya aku masih tak percaya bisa sampai di atas sini. Banyak dari pendaki lain yang rata rata laki laki mengambil foto dan selfie. Rasanya lelah kami terbayarkan dengan keindahan alam yang luar biasa ini. 

Hargo Dalem – Hargo Dumilah 

Setelah sarapan perjalanan masih berlanjut dan menurut aku perjalanan menuju puncak tertinggi gunung Lawu adalah perjalanan yang berat. Aku hamper menyerah tak kuat membawa badan, padahal hanya butuh 30 menit lagi untuk sampai di atas. Tapi badanku remuk dan sudah begitu lelah, namun Mas Wawan memaksaku dan mengatakan “Tinggal sedikit lagi” bahkan menarik tanganku hingga aku benar benar sampai di puncak.

Puncak Gunung Lawu

“MasyaAllah, lelah ini terbayarkan” Senyumku mengembang lebar.

Perjalanan mendaki gunung Lawu menjadi pengalaman yang berkesan karena ini pertama kalinya aku mendaki gunung, wajarnya seorang pemula mendaki gunung yang tidak terlalu berat tracknya dan tidak terlalu tinggi. Namun aku langsung menantang diriku untuk mendaki ke puncak gunung Lawu 3265 MDPL. 

Mendaki gunung buat ku sama seperti kehidupan. Untuk sampai puncak perlu perjuangan panjang, usaha dan doa yang tak henti diucapkan. Puncak itulah ibarat Surga yang diincar orang orang beriman. Disana ada banyak hal yang indah indah  Apalagi surga yang diharapkan surga tertinggi, Firdaus berarti hambatan dan rintangan jauh lebih berat untuk sampai kesana. Hanya orang orang bersabar bisa sampai kesana. Kesabaran yang membawa seseorang untuk tetap melangkah kan kaki sampai pada tujuan meski banyaknya halang rintang. 

Dari pendakian 3265 MDPL inilah aku mulai mendaki ke gunung gunung yang lain, meskipun dulu saat mendaki Lawu aku pernah berkata,

"Aku ga mau mendaki lagi, capek"

Tapi sekarang seolah gunung adalah candu tersendiri, ia memiliki magnet yang seseorang yang pernah datang untuk datang kembali atau mendaki ke gunung yang lain. Karena setiap lelah terbayarkan dengan hasil yang didapatkan, pemandangan dan pelajaran hidup yang sangat berkesan.

Komentar

Postingan Populer