Who am I?

 


“Terseok seok langkah ini. Namun tak menyurutkan hati dan memilih berhenti. Hakikat kelelahan ini merupakan proses mencari jati diri. Waktu tak akan berhenti. Ruang akan terus berganti. Namun setiap cerita selalu memberi arti”.- Kapten


Dulu saat kelas tiga SMA aku seorang gadis rumahan mencoba keluar dari tempat ternyaman, berpetualang ke alam, menjelajah rimbun pepohonan, menyibak ketakutan dan menyaksikan keindahan langit lebih dekat. Puncak Lawu telah aku tetapkan sebagai misi hebat yang akan aku taklukkan. Berbekal niat dan tekad aku nekat mendaftar pendakian. Tak punya persiapan alat dan ilmu di alam, aku hanya berpikir bahwa siap berpetualang. Segala peralatan yang dibutuhkan hasil meminjam pada teman teman. Tas carrier, tongkat, jacket, obat-obatan, makanan semua tak luput menjadi perbekalan. Dengan pedenya tanpa latihan fisik, tanpa banyak persiapan aku siap menantang diriku sendiri untuk melangkah dengan yakin akan menang. Menang menuju puncak tertinggi Hargo Dumilah.

Waktu itu tepat peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2017. Tanpa kenal pada semua rombongan dan termasuk anak paling muda tak berpengalaman tak menyurutkan semangatku untuk sampai puncak. Di tengah ramainya suara makhluk malam, kami dibagi dalam rombongan rombongan. Setelah sholat isya’ barulah pendakian dimulai. Segala perbekalan siap dan tak boleh tertinggal. Baru satu jam berjalan Aku menghela nafas panjang rasanya begitu melelahkan. Detak jantung berdetak lebih kencang tak beraturan inilah akibat dari kurang persiapan. Namun aku hanya bisa diam, tanpa berucap sepatah katapun, aku berusaha mengalihkan rasa lelah dalam cerita para pendaki. Malam itu hutan begitu gelap kami hanya ditemani senter dan sinar rembulan. Keringat bercucuran namun hawa dingin semakin mencekam. Haus begitu tak tertahankan namun anehnya tak merasa ingin buang air saat perjalanan. 

Kunikmati suasana hutan saat malam, tak berani aku menatap kanan kiri jalan, mataku hanya tertuju ke depan takut tertinggal rombongan. Aku sering mendengar banyak pendaki yang hilang karena terpisah dari rombongan itulah sebabnya aku harus fokus kedepan. Meskipun aku tak memiliki teman saat datang namun para pendaki sudah sangat akrab dengan ku. Mereka menjadi terbuka dan bercerita tentang banyak hal. Tak kulihat dalam gelap malam kelelahan atau penyesalan dalam wajah mereka. Yang ada hanya gelak tawa dan guyonan khas orang Karanganyar.

Perjalanan tak semulus yang dibayangkan sesampainya di pos 1 ada pendaki perempuan di rombonganku yang tak sanggup melanjutkan perjalanan. Yaa hanya kami berdua pemula di rombongan ini, mungkin kakak itu kelelahan dan tak sanggup berjalan. Memang benar baru sampai di ketinggian 2.214 MDPL otot kaki ku mengeras dan sudah pegal pegal. Namun perjalanan tetap harus dilanjutkan karena esok pagi tepat pukul 10.00 kami harus mengibarkan sang saka merah putih di puncak tertinggi Gunung Lawu. Namun aku agak lupa bagaimana perjalanan dari setiap pos. Yang aku ingat antara di pos 3 dan 4 kita akan melewati jalan di pinggir jurang. Banyak kisah horor yang sering kudengar, ada yang bilang kalo di tempat itu pernah ada pendaki yang terperosok karena mengira itu adalah jalan menuju perkampungan padahal itu jurang. Dari tepi jurang inilah kita dapat melihat pemandangan yang indah, lampu kerlap kerlip dan langit yang bertabur bintang. Keindahan yang selalu terekam dalam memori. Melihat pemandangan seperti ini menghilangkan lelah yang sejak melangkah membuatku kadang ingin menyerah. Perjalanan tak semudah yang aku bayangkan, batu besar, kerikil, halang rintang ranting pepohonan dan jalan yang menanjak menjadi tantangan terberat. Tongkat yang menjadi penolongku saat berjalan agaknya turut merasakan kelelahan. Tas carrier yang tak semestinya berat terasa begitu berat. Sungguh saat ditanya apakah aku akan kembali mendaki lagi kujawab dengan tegas tidak akan namun ucapan itu menjadi penyesalan bagiku. Karena mendaki seperti candu, pemandangan alam dan langit berbintang selalu hadir menjadi rindu kapanpun itu saat aku menatap gunung dari kejauhan. Merasa seolah gunung melambai lambaikan tangan menantang anak rumahan ini berpetualang.

Waktu itu aku enggan beristirahat atau sekedar tidur di dalam tenda. Hawa dingin membuat bibirku bergetar mungkin saat itu sudah pagi buta. Salonpas ditempel dimana mana dan tak berasa panasnya, kaos kaki, kaos tangan, kupluk dan jaket pun tak membuat tubuhku terasa hangat. Juga kobaran api unggun sama sekali tak menghangatkan badan. Akhirnya aku memilih untuk lanjut saja. Menapakkan kaki hingga tak terasa dingin namun nasib seorang pendaki pemula sepertiku sering mengalami kram kaki saat perjalanan. ini sangat menyulitkan bagiku. Apalagi medan pendakian yang membutuhkan ekstra kekuatan kaki dan kelincahan berjalan. Tapi aku tak pernah menyerah kupaksakan kakiku melangkah hingga matahari menyapa.

Tatkala sunrise sudah terlihat seketika rasa lelah hilang, tak ada kesal dan menyesal  telah mengambil keputusan hebat melakukan petualangan ini. Sang surya seakan tersenyum lebar dan lebih dekat menatap manusia. Semakin bersyukurlah diri ini menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Tangan ini menengadah sambil larut dalam ketenangan, suara burung burung berkicau dan gumpalan kapas putih menambah sempurna pemandangan. Momen menikmati hal seperti ini selalu indah di puncak manapun. Namun perut begitu keroncongan karena semalam enggan dimasuki makanan. Setelah puas dengan pemandangan kami kembali melanjutkan perjalanan.

Kami mampir di warung Mbok Yem warung legendaris, warung tertinggi di Indonesia. Nikmat betul sarapan kali ini. Sarapan di tempat tertinggi. Saat pagi kita bisa melihat wajah para pendaki dengan jelas kalian pasti juga tak bisa menahan tawa saat disuguhkan pemandangan muka para pendaki yang cemong dan kotor. Namun apa daya kami hanya bisa membersihkan dengan tisu dan air secukupnya. Perjalanan tidak berhenti sampai di warung Mbok Yem, kami harus mengokohkan kaki untuk melanjutkan di puncak tertinggi. Sempat aku tak mampu lagi untuk mendaki. Kakak yang berada di sampingku sejak pagi selalu memberi semangat agar aku mau melanjutkan perjalanan. Katanya, tinggal beberapa langkah sampai puncak apa kau ingin menyerah. “Kau sudah membawa kertas dan pena, apakah benar bila itu tetap kosong ketika pulang nanti?” Hah benar ketika sudah mengambil keputusan besar kita harus selesaikan. Ini sebagai bentuk tanggung jawabku, akhirnya dengan nafas tersengal badan lemas kaki lemah selemah lemahnya kakak itu menarikku dengan bambu hingga sampai puncak. Ya aku tersenyum lebar tatkala berada di puncak tertinggi di Karanganyar, puncak yang biasanya hanya aku pandang dari jalan. Aku benar benar diatas awan aku heran padahal takut ketinggian tapi bisa melangkah sampai di ketinggian 3265 MDPL. Misi pendakian akhirnya berhasil aku selesaikan. Dan cerita ini menjadi cerita yang tak pernah aku lupakan.

Aku ingin memberitahu, saat di gunung kita bisa tahu sifat seseorang sebenarnya. Dalam keadaan lelah mereka tak payah menjadi orang lain dan kita mudah mengenali seseorang. Kita akan tahu mana yang benar benar teman dan bukan. Pun dengan diriku banyak sifat yang akhirnya aku sadar. Dari sepenggal cerita perjalanan mendaki pasti kalian tahu seperti apa diriku ini. Dan aku tak sungguh menyesal mendaki gunung karena aku telah mendaki di Merbabu, Andong dan Bukit Mongkrang tak banyak namun pendakian adalah hal yang selalu kurindukan. Bagiku semua gunung yang aku daki adalah sama, tentang perjuangan dan hasil yang didapatkan. Mungkin gunung-gunung ini berbeda dari segi tempat, ketinggian dan tantangannya namun pemandangan yang disuguhkan sama sama indah hingga membuat mata ini tak berkedip sambal bergumam “MasyaAllah sungguh indah”.

Memang tak semua sunrise di gunung sama, tak semua sunsetnya juga sama ada kekhasan yang dapat digunakan untuk membedakan. Lalu bagaimana keterkaitan ceritaku dengan ruang dan waktu. Aku merasakan dunia yang kuhidupi adalah saat mendaki seperti halnya saat aku menjalani kehidupan saat ini. Bagiku ruang hidupku ini bagaikan ruang hutan ada sisi gelap dan terang oleh matahari, waktu malam dan siang silih berganti, dan segala hal atau properti yang melengkapi. Memang tak sama namun layaknya kusebut sama antara mendaki dengan perjalanan kehidupan. Meskipun mendaki termasuk kedalam perjalanan dari kehidupanku. 

Dalam hidup ada yang datang dan pergi, ada saat dimana kita menang dan kalah pada diri sendiri, dan bagaimana sikap kita untuk mengatasi berbagai tantangan hingga akhir sampai tujuan. Bila kita termasuk orang beriman tentulah surga yang menjadi tujuan. Bagiku masa lalu benar ada untuk melengkapi kehidupanku yang sekarang. Tak ada hari berlalu tanpa pembelajaran. Terima kasih


Komentar

Postingan Populer