Falsafah Ketuhanan

Falsafah Ketuhanan

karya Prof. Dr. Hamka

Selama dua puluh tahun hidup aku semakin sadar bahwa yang aku jalani selama ini belum membuatku cukup kokoh menghadapi peliknya kehidupan. Masuk jurusan filsafat membuatku kembali berpikir ulang, pikiran yang selama ini hanya terdiam sekarang mulai mempertanyakan banyak hal. Suatu ketika salah seorang temanku bercerita, ia ditanya temannya apakah ia percaya dengan Tuhan, kemudian banyak hal yang sering aku dengar dan agama menjadi bahan guyonan, orang beragama itu ga rasional, orang beragama di dogma hingga kemampuan berpikir kritis berhenti begitu saja, umat dilarang bertanya banyak hal seperti kenapa ia harus sholat, kenapa harus melakukan dan tidak boleh melakukan hal ini dan itu.

Keyakinanku seperti tergadaikan. Aku memang beruntung lahir dalam keadaan Islam namun yang kusesali adalah aku tak berpikir lebih mendalam mengenai hakikat diriku. Bahkan jika ditanya siapa aku, perlu berpikir ulang untuk menceritakan siapa diriku ini. Itulah kesalahanku selama ini sekedar mengikuti perintah tanpa paham maksudnya. Membaca tapi tak tahu maknanya. Melakukan kewajiban beribadah sekedar rutinitas saja tanpa menganggap sebagai kebutuhan. hingga perasaan khawatir tentang masa depan, selalu menghantui diri disetiap malam. Terlebih setelah lulus jurusan filsafat mau jadi apa.

Kembali pada topik beberapa hari yang lalu aku mulai membaca buku yang aku anggap cukup berat karena jarang sekali aku membaca buku tentang agama. Buku yang kubaca adalah Falsafah Ketuhan karya Prof. Dr. Hamka. Sebagai masyarakat desa yang tinggal di lingkungan mayoritas muslim atau bahkan semua warganya muslim tak pernah terbesit dalam benakku menanyakan tentang Tuhan. Hidup seakan flat flat aja tanpa makna yang mendalam. Melalui tulisan ini aku ingin berbagi temuan yang menarik dari buku ini yang tak puas hanya dibaca satu kali.

Sedikit yang bisa kusampaikan bila teman teman tertarik membaca buku ini sendiri...

Pada dasarnya manusia memiliki fitrah percaya ada yang maha luar biasa yang menciptakan alam semesta. Dari zaman primitif hingga zaman modern bila manusia menggunakan akalnya untuk berpikir. Saat manusia pertama kali mengindrai sesuatu baik dengan mata, telinga, hidung bahkan kulit manusia akan berpikir segala hal yang ada pada diri dan alam semesta ini tak mungkin terjadi secara tiba tiba. Coba lah berpikir, seorang Ibu yang mengandung hingga mempunyai anak. Betapa luar biasanya Allah menciptakan manusia. Dan apakah ciptaan manusia lebih hebat daripada alam semesta ini. Lihatlah matahari berputar sesuai lintasannya, bulan dan bumi pun begitu. Langit begitu megah tanpa penyangga dan tak retak sama sekali. Apakah ada manusia yang bisa menciptakan sedemikian rupa. Bahkan ketika manusia ‘menciptakan’ benda canggih sekalipun ia tak bisa sesempurna ciptaan yang Maha Luar Biasa tadi. Manusia juga tak bisa memberikan nyawa selayaknya Dia. Lantas apa yang membuat manusia tidak yakin tentang keberadaanNya.”Sejauh jauh perjalanan akal manusia, dia akan bertemu suatu perhentian, yaitu insaf atas kelemahan diri, berhadapan dengan Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan tunduk tersipu di bawah cerpunya.”

Iman berarti percaya dan Islam berarti menyerah dengan segala senang hati dan rela. Keduanya timbul setelah akal akan sampai di ujung perjalanan. Bertambah tinggi perjalanan akal, bertambah banyak alat pengetahuan yang dipakai, pada akhirnya bertambah tinggi pula martabat Iman dan Islam seseorang.

“Agama ialah akal. Dan tidak ada agama pada orang yang tidak berakal.”

Dari sini aku menyimpulkan bahwa orang beragama adalah orang yang berakal. Karna telah sampai ia pada batas kemampuan akalnya untuk berfikir dan ia merasa bahwa dirinya selemah lemah nya makhluk dan harus tunduk pada yang Maha Kuasa atas segala hal.

Bagaimana dengan mereka yang tiba tiba keluar dari islam. Dalam buku ini dikatakan karena agama yang dikerjakan hanya sekadar ikut ikutan (taklid). Bahaya seorang yang beragama namun sekedar ikut ikutan dan tanpa dasar yang kokoh, ia tak bisa berkutik saat dihadapkan pada argumentasi yang menyesatkan. Hingga dalam pikirannya terbesit pikiran oh iya betul juga yang disampaikan orang itu. Celakalah apabila seseorang kehilangan keyakinannya.

“Iman adalah pendapat sendiri, di dalam perjalanan hidup mencari kebenaran, yakni kesungguhan kesungguhan yang tidak berhenti sehingga insaf kelemahan diri di hadapan kebesaran Yang Maha Besar. Adapun sikap percaya saja adalah mengikuti orang lain dengan membuta tuli apa yang dikatakan orang lain, atau apa yang diterima dari guru, sehingga akal sendiri menjadi beku tidak bergerak.”

Dari sudut mana mencari Tuhan?

Menurut penyelidikan ahli ilmu jiwa kita dapat melihat dari tiga sudut dalam menghubungkan diri dengan alam, yaitu perasaan, pikiran dan kemauan. Cobalah kita rasakan keberadaannya dalam alam, siapakah kiranya yang menyebabkan semua nya indah dan teratur tanpa terbentur? Pandanglah laut, bukit, gunung. Keindahan yang tidak ada habisnya, semuanya ada sebab dibalik itu semua sang pengatur yang tak pernah tidur. Akal tidak kuasa untuk dapat sampai ke ranah itu. Perjalanan hanya sampai pada ada yang mengatur.

Pernahkah kita bertanya apakah hidup itu? Kemudian untuk apa kita hidup? dari mana datangnya dan bagaimana kesudahannya? Manusia tak bisa memberikan nyawa pada suatu benda setinggi tinggi apapun pendidikan dan keahliannya dalam ilmu pengetahuan.  Maka ada Nabi dan Rasul, utusan Allah yang menjawab pertanyaan manusia.

“Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain aku.” (Thaahaa;14)

Yang terlihat hanya lah perubahan. Peraturan yang tetap dalam alam ialah berubah. Jalan tasawuf untuk merenung ke dalam diri sendiri, membersih kan diri dan melihatnya dengan berbagai macam latihan.

“Barang siapa yang mengenal akan dirinya, niscaya ia kenal akan Allah SWT.”

Kesadaran kita terhadap sulitnya mencari rahasia diri, menimbulkan kesadaran kita terhadap kebesaran rahasia Allah. Tidak ada faedah dan hasil apabila kita menyembah selain pada Allah. Sebab semuanya kedudukan sama dengan manusia, asalnya belum ada, setelah itu ada dan kemudian lenyap. “Bersihlah pendirian hidup dari pengaruh lain. Hanya Allah semata mata yang menjadi pusat tujuan hidup. Bebas dari pengaruh apapun.”

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al Baqarah: 186)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf:16)

“Bertambah luasnya ilmu pengetahuan dan hasil penyelidikan manusia, pada hakikatnya bukan menambah jauh dari Allah, melainkan menambah terbukanya pintu gerbang iman.” Herchel ahli filsafat abad ke18 berkata “Bertambah luas daerah ilmu, bertambah jelas dan bertambah banyaklah dalil yang menunjukkan adanya hikmah tertinggi”

Socrates juga mengatakan bahwa “Alam yang kita lihat dalam bentuk semacam ini bukanlah jejak dari suatu hal yang tiba tiba dan kebetulan, bahkan segala segi dan bagiannya menuju kepada satu tujuan. Tuhan YME.”

Allah senantiasa hadir, hanya kebodohan manusia yang menyebabkan ia ingin memegang Allah dengan tangannya, memandang Allah dengan matanya atau pancaindera.

“Jika suatu perkara terwujud dengan sendirinya dan suatu perkara terwujud karena yang lain,niscaya ketika mencari dalil dapatlah di bedakan antara keduanya. Namun dalil adanya Allah adalah umum pada setiap sesuatu dan berbentuk satu. Ujud Allah tetap di dalam segala keadaan. mustahil terdapat dalil adanya Allah karea Allah tidak ada lagi. Lantaran itu tidaklah heran jika itu menyebabkan tersembunyinya pada penglihatan kita yang silau ini. Itulah sebabnya terkadang paham kita terlalu pendek untuk menjangkaunya”

“Einstein saja bingung apabila telah sampai kepada batas memikirkan keadaan diri. Kesulitan juga yang akan ditemukan lebih lebih apabila kita lekas sadar siapakah sebenarnya diri kita dan sampai mana batas kekuatan yang ada pada kita. Rasulullah mengatakan bahwa itulah tanda kita telah beriman. Didalam jiwa manusia telah ada dasar pokok kepercayaan yaitu adanya Allah SWT tentang luas kekuasaanNya”

Perbedaan diantara ujud manusia dengan Allah ialah ujud alam seluruhnya terjadi karena kehendak Nya. Sedangkan ujud Allah adalah ujudNya sendiri. Manusia tidak memiliki kuasa apa apa. Kehidupan hanya kenikmatan dari Nya. Datang perintah mati, hilang lah manusia.

Sifat dari alam yang diciptakan Allah tidak serupa dengan sifat Allah itu sendiri. Sebab Allah bukan alam dan alam bukan Allah. Dalam kitab Injil Tuhan dibayangkan menjadi kepala dari satu keluarga yang terdiri dari seorang anak dan seorang ibu. Sesuatu yang mustahil keberadaannya, menurut akal jauh perbedaannya dengan perkara yang tidak sanggup dipikirkan oleh akal. Akal memberikan hukum bahwa ada dua hal yang berlawanan mustahil berkumpul. Semuanya cahaya. Mustahil. Ketidakmampuan akal mengetahui hakikat cahaya bukan berarti tidak ada cahaya. Ketika tidak tahu hakikat sesuatu bukan berarti telah mengetahui bahwa sesuatu itu tidak ada. Hakikat kepercayaan pada keberadaan Allah tetaplah tersemat dan sanubari manusia, baik orang yang awam maupun ahli atom sekalipun.

Allah itu kaya dan berdiri sendiri. Saking luasnya kuasa Allah manusia tidak mengetahui karena usia yang tak cukup untuk mengetahui. Allah yang maha kuasa mengatur segalanya. Manusia saja masih membutuhkan orang lain dalam hidupnya bahkan sehelai benang dari tubuhnya tak luput dari bantuan orang lain. Mana mungkin manusia tak pernah memikirkannya dan enggan percaya.

“Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. (Al Ikhlas: 1-4)

Allah itu Maha Esa yang mutlak. Alangkah payahnya tuhan tuhan orang orang yang berpaham politeisme. Mengatakan Allah itu dua, tiga. Apakah tuhan tuhan mereka harus berunding dahulu sebelum memutuskan suatu perkara?

Bertambah bersih cara berpikir kita, bertambah terbukalah jalan kepada tauhid. Akhir perjalan akal walaupun dari pangkal yang mana kita  hanya mulai dengan satu ucapan.

“Tiada Tuhan melainkan Allah”

“Tauhid adalah ajaran yang sangat besar pengaruhnya, menggembleng sehingga jiwa menjadi kuat dan teguh. Kebebasan jiwa kemerdekaan pribadi, hilangnya rasa takut menghadapi segala kesukaran hidup, keberanian menghadapi segala kesulitan sehingga tidak berbeda antara hidup dengan mati asalkan untuk mencapai Ridho Allah, semua itu merupakan hasil ajaran tauhid. Tujuan hidup sejati manusia adalah tauhid. Tauhid adalah ruhnya agama islam dan jauhar, intisari dan pusat dari seluruh peribadatan.

Al Quran memerintahkan manusia senantiasa menggunakan akal pikiran dan hati nurani untuk merenungi setiap hal yang ada di alam semesta. Manusia yang berakal akan menyadari tanda tanda kekuasaan Allah. Cari dan renungkan sesuai dengan Al Quran maka manusia akan menemukan penyelesaian .

Masih banyak hal yang belum tuntas untuk disampaikan semoga teman teman berkenan membacanya, buku ini menjadi titik awal pencarian dan hakikat iman. Aku berharap semoga Allah mudahkan kita menjadi hamba yang senantiasa menggunakan akal dan pikiran dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT.

Inilah awal pencarianku semoga Allah pertemukan aku dengan guru yang mampu membimbing dan mengajari ku mulai dari awal hingga benar benar tumbuh jiwa Islam dalam diriku. Hinggas setiap problem kehidupan tak lantas membuatku menyalahkan Tuhan dan aku bisa melihat dunia lebih jelas. Mengejar akhirat tanpa melupakan dunia dan menjadi sebaik baknya hamba yang bertakwa. Aamiin

Apabila adanya banyak kesalahan dalam penulisan mohon maaf ya. Semoga bermanfaat :) 

 


Komentar

Postingan Populer