Cendikiawan Muslimah 2
Cendikiawan Muslimah 2
Dr. Alwi Alatas
Perempuan dalam prasangka barat identik dengan hal yang buruk. Ira Lapidus ketika berbicara tentang prasangka Barat terhadap wanita Muslim mengatakan: Wacana Barat tentang wanita Muslim mengabaikan masalah dan tantangan yang dialami wanita Barat dalam masyarakat mereka sendiri. Kita cenderung membandingkan masyarakat Barat seperti yang kita anggap saat ini tanpa memperhitungkan sejarah atau realitas kontemporer mereka. Sedikit lebih dari seratus tahun yang lalu di Amerika, wanita tidak dapat memilih, atau, jika menikah, mengelola properti mereka sendiri. Saat ini, ada penolakan yang meluas di Barat terhadap peran wanita modern dan keyakinan konservatif yang meluas bahwa tempat wanita ada di rumah dan keluarga. (Ira Lapidus, 2014, A History of Islamic Societies, Cambridge: Cambridge University Press, e-book version, 259-260)
Perempuan sejatinya ditinggikan oleh Al-Qur’an. Reformasi moral dan spiritual yang dianjurkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an meningkatkan status perempuan. Al-Quran berbicara kepada wanita secara langsung dan menuntut mereka untuk menegakkan moralitas di masyarakat. Ini merekomendasikan untuk menghormati
kesopanan dan privasi mereka. Pernikahan diakui memiliki nilai-nilai spiritual dan religius yang penting karena merupakan hubungan yang direstui oleh kehendak Tuhan.
Peranan Muslimah di Publik menjadi hal yang tabu dalam lingkungan sosial. Meskipun norma hukum dan budaya menguntungkan laki-laki, hal ini dilunakkan oleh realitas ekonomi dan sosial. Dari bahan-bahan sejarah dan pertimbangan teoritis selanjutnya, kita tahu bahwa hubungan antara jenis kelamin lebih rumit daripada yang tersirat dalam konsep sederhana tentang dominasi laki-laki dan pemisahan gender. Meskipun perempuan memiliki peran yang lebih rendah dalam
ranah "publik", domain publik jauh lebih kecil di masa pra-modern daripada di masyarakat modern; keluarga memainkan peran yang jauh lebih besar dalam kehidupan ekonomi dan politik. Wanita pada umumnya adalah penjaga status sosial keluarga, dan mereka memiliki pengaruh dalam mengatur perkawinan dan menjaga hubungan timbal balik dengan keluarga lain. Wanita kelas atas yang berpendidikan mengajarkan Alquran dan hadits Nabi kepada gadis-gadis di jaringan keluarga mereka. (Lapidus, 2014: 267-268)
Muslimah dalam Islam bukan kelas tertindas seperti pandangan orang Barat di masa lalu. Bahkan perempuan Barat sekarang menuntut kesetaraan gender karena kelamnya masa lalu perempuan. Meskipun dari sudut pandang kontemporer, laki-laki lebih dominan, perempuan tidak bisa dianggap sebagai kelas tertindas. Mereka kemungkinan besar tidak melihat diri mereka membentuk suatu kolektivitas dengan kepentingan yang bertentangan dengan
kepentingan laki-laki, karena perempuan sendiri memiliki pengalaman yang berbeda-beda tergantung pada kelas sosial dan komunitas lokalnya. Kebanyakan wanita mungkin melihat diri mereka memainkan peran yang berharga, sah, dan penting dalam keluarga dan kehidupan sosial, sesuatu yang berbeda dari tetapi melengkapi peran pria.(Lapidus,
2014: 269)
Muslimah memiliki banyak peranan dalam sejarah Islam, perempuan telah memainkan peran penting, sejak zaman Nabi (saw) hingga generasi berikutnya, dan mereka umumnya memainkan peran ini dalam konteks pandangan dunia Islam. Sekalipun peran ini lebih banyak di lingkungan keluarga dan lebih sedikit di depan umum. Beberapa dari mereka sebenarnya telah menjadi sarjana dan sufi yang penting.
Seperti muslimah yang bergelar sarjana di Nishapur. Ia adalah Ruhak bt al-Faqih Abul Qasim Abdul Aziz bin Abdul Rahman dari Bayt al-Hadith wal Ilm. Ia menerima banyak ilmu dari ayahnya tentang generasi terdahulu dan banyak orang yang belajar darinya disebabkan hal itu. Abul Hasan meriwayatkan darinya. Ia wafat pada 9 Ramadan 491 (al-Farisi, 224).
kemudian seorang muslimah bernama Zahra’ yang dikenal sebagai Fatimah bt al-Imam Abu Uthman Ismail bin Abdul
Rahman al-Shabuni al-Kubra. Is perempuan solehah, berpengetahuan luas, dan seorang wanita yang terhormat, perhiasan dari keluarga al-Shabuni, seolah ia adalah saudara perempuan dari ayahnya. Ia belajar dari Abu Ya’la al-Mahbali. Abul Hasan al-Hafiz meriwayatkan darinya (al-Farisi, 230).
Ummul Khayr Fatimah bt Ali bin Mudzaffar bin al-Husayn al-Baghdadi. Ia belajar dari ayahnya dan dari beberapa ulama lainnya. Ia sibuk mengajar anak-anak dan belajar kepadanya satu generasi murid (di kota itu) (al-Farisi, 320).
Amah al-Ghafir (Dardana), saudara perempuan dari Abul Hasan al-Hafiz. Ia belajar kepada kakeknya Zayn al-Islam, dari neneknya Fatimah bt Abu Ali al-Daqqaq, dari ibunya al-Harrah Amah al-Rahim, dan dari Abu Hamid al-Azhari. Seorang perempuan yang solehah
dan zuhud (al-Farisi, 221).
Fatimah bt Ustadz Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Daqqaq al-Harrah, sebaik-baik perempuan di eranya (fakhr al-nisa’ ‘asriha). Ia tinggal di bawah pengasuhan dan didikan ayahnya. Ia termasuk dalam (kelompok) keyakinan dan adab para sufi dan kalimat tauhid. Ia hafal seluruh al-Qur’an, membacanya siang dan malam, dan sangat memahami Kitabullah. Sangat kuat (berlebih) dalam beribadah dan sifat rajin, mengisi waktunya dengan penyucian (diri) dan shalat, selalu taat kepada Allah dalam 90 tahun hidupnya. Ia belajar kepada Abu Nu’aym al-Asfaraini, kepada al-Sayyid Abul Hasan al-’Alawi, kepada al-Hakim Abu Abdillah al-Hafiz dan beberapa lainnya. Ia memiliki sembilan anak. Wafat pada tanggal 13 Dhul Qa’dah 480 H (al-Farisi, 419-420).
Para ulama perempuan ini tidak hanya memberi manfaat bagi rekan-rekan wanita
mereka saja, tetapi juga bagi beberapa ulama pria, yang mendengarkan dan belajar dari mereka.
Selanjutnya adalah muslimah yang bergelar sarjana dan sufi di Sham. Mereka diantaranya Rabiah bin Ismail di Damaskus. Istri dari Ahmad bin Abil Hawari yang juga ahli ibadah. Suaminya
tadinya tidak mau menikah dengannya, tapi Rabiah hendak mendukung para ahli ibadah lewatpernikahan itu (Tarikh Dimasyq, 69/115-6). Zamrad/Zumrad binti Jawali. Saudari Malik Duqaq Taj al-Dawlah
dari sisi ibu, istri dari Taj al-Muluk Buri bin Tughtekin, ibu dari Syams al-Muluk Ismail dan Syihab Mahmud bin Buri. Ia merupakan seorang perempuan yang menyintai kebaikan, pemurah terhadap
ahli ilmu. Mendengar hadits dari Abul Hasan ibn Qays, dari Abul Fath Nasrullah bin Muhammad, dan dari Abu Thalib bin Abi ‘Aqil al-Shuri. Ia belajar qira’ah kepada Abu Muhammad bin Thawus. Ia mereproduksi kitab-kitab dan membangun serta mewakafkan masjid di San’a. (Tarikh Dimasyq, 167-8)
Fatimah binti Muhamad bin Ahmad al-Samarqandi. Ayahnya merupakan ulama besar madzhab Hanafi, penulis kitab Tuhfat al-Fuqaha’. Ia menikah dengan murid ayahnya, ‘Ala’ al-Din al-Kasani, dengan mahar kitab yang ditulisnya, Bada’i Sana’i, yang merupakan komentar atas buku Tuhfat. Al-Kasani merupakan ulama besar madzhab Hanafi. Sempat menetap di Anatolia, kemudian pindah ke Aleppo atas undangan Nuruddin Zanki. Ia disambut oleh para ulama di kota itu dan oleh Nuruddin diserahkan kepengurusan atas satu madrasah besar di kota itu. Istrinya, Fatimah, merupakan seorang yang faqih, memiliki keutamaan dan hafal kitab Tuhfah yang ditulis oleh ayahnya. Jika suaminya ragu akan suatu masalah fiqih, ia kadang bertanya pada istrinya dan istrinya akan menunjukkan pada pandangan yang lebih tepat berikut dengan argumennya, dan suaminya pun mengambil pandangan tersebut. (Kamaluddin, Tarikh Halab, 4348)
Perempuan-perempuan yang menjadi patron ilmu. Seperti Fatimah al-Fihriyah membangun Masjid Qarawiyyin di Fez yang di sampingnya kemudian didirikan madrasah yang masih eksis hingga hari ini.
Pada tahun 1184, ibu dari Khalifah al-Nashir (r. 1180-1225) mendirikan ribāṭ di Ma'mūniyyah di Baghdad (Ibn al-Athīr, The
Chronicle 2, 298).
Saudara perempuan Ṣalāḥ al-Dīn, Sitt al-Shām Zaman Khātūn, membangun sebuah madrasah di Damaskus dan madrasah lainnya di luar kota itu (Ibn Khallikan, Ibn Khallikan’s 2, 189).
Sayyidah Nafisah binti al-Hasan. Nama beliau adalah Nafisah binti Abu Muhammad al-Hasan ibn Zaid ibn al-Hasan ibn Ali ibn Abi Talib (al-Dhahabi, 1985: 279; Ibn Kathir, 1998: 170; Ibn Khallikan, 1868: 574). Ia merupakan cicit dari al-Hasan ra, anak dari Fatimah bint
Rasulillah sallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Hasan, ayah dari Nafisah, merupakan seorang yang memiliki banyak keutamaan dan pernah ditunjuk oleh Khalifah al-Mansur sebagai Gubernur Madinah (al-Zubayri, n.d.: 56).
Al-Hasan ibn Zaid meriwayatkan hadits Nabi saw melalui Ikrimah dari Ibn Abbas dan haditsnya diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i (Ibn Kathir, 1998: 170). Salah satu puteranya, al-Qasim, yang merupakan saudara Sayyidah Nafisah, tinggal di Nishapur di timur Iran. Ia merupakan seorang yang soleh dan zuhud. Salah satu keturunannya nantinya
menjadi perawi hadits bagi Imam al-Bayhaqi (al-Dhahabi, 1996:
107; al-Munawi, n.d.: 495).
Sayyidah Nafisah lahir di Makkah pada tahun 145/ 762-3 (al-Munawi, n.d.: 494). Pada masa kecilnya, ia ikut dengan ayahnya yang menjadi gubernur di Madinah dan tinggal di kota itu. Sayyidah Nafisah kecerdasan yang tinggi, ia dapat menghafalkan seluruh Al-Qur’an serta memahami fiqh secara mendalam sejak usia muda. Ayahnya sering membawanya ke makam Nabi saw dan berdoa bagi
putrinya di tempat itu. Ia menikah di usia muda dengan Ishaq al-Mu'taminibn Ja'far Sadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zayn
al-Abidin ibn al-Husayn ibn Ali ibn Abi Talib, sepupu jauhnya. Dari pernikahan ini, keduanya dianugerahi seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan, al-Qasim dan Umm Kulthum (al-Munawi, n.d.: 494).
Nantinya Sayyidah Nafisah pergi ke Mesir bersama suaminya dan menetap di negeri itu (al-Dhahabi, 1996: 106; Al-Yafi'i, 1997: 33). Dikatakan bahwa penduduk Mesir keluar untuk menyambutnya saat mereka mendengar tentang kedatangannya ke negeri itu pada bulan Ramadan tahun 193/809 (al-Sha'rawi, n.d.). Sayyidah Nafisah tinggal di Mesir hingga akhir hayatnya. Ia melakukan banyak kebaikan bagi penduduk negeri itu, kepada mereka yang sakit, termasuk sakit kusta, maupun kepada masyarakat secara umum.
Ia merupakan seorang yang zuhud dan melakukan banyak ibadah (Ibn Kathir, 1998: 171). Dengan tangannya sendiri, ia menggali sebuah lubang di dalam rumahnya yang nantinya akan menjadi kuburnya. Ia solat di dalamnya dan mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak 6000 kali (al-Munawi, n.d.: 494).
“Ia merupakan pemilik karamah dan burhan," tulis Ibn Taghribirdi (1972: 186), “nama baiknya tersebar luas ketimur dan ke barat." Imam Shafi’i di Mesir.
Pada tahun 199/815, Imam Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i tiba di Kairo, Mesir, di mana ia akan tinggal hingga akhir hayatnya (Ibn Khallikan, 1843: 571). Saat berada di Mesir, Imam Shafi'i sering mengunjungi Sayyidah Nafisah dan mendengarkan hadith darinya (Ibn Khallikan, 1868: 575; Al-Yafi'i, 1997: 33). Ash-Sha'rawi (n.d.) menyebutkan bahwa pada bulan Ramadhan, Imam Shafi'i biasanya mengimami solat tarawih di masjid di dekat rumah Sayyidah Nafisah, dan Sayyidah Nafisah selalu ikut dalam solat tersebut. Ibn Kathir (1998: 171) juga menyebutkan cerita ini.
Saat Imam Shafi'i wafat pada Jum’at terakhir bulan Rajab tahun 204/820 (Ibn Khallikan, 1843: 571), berdasarkan wasiatnya, jenazahnya dibawa ke rumah
Sayyidah Nafisah sehingga ia dapat ikut menyolatkannya. Ini karena keadaan beliau yang sudah lemah dan tua, sehingga solat jenazah dilakukan di sana untuk kemudahannya. Sayyidah Nafisah ikut solat bagi jenazah Imam Shafi‘i sebagai makmum di bagian perempuan (Ibn Kathir, 1998: 171; Ibn Khallikan, 1868: 575; al-Munawi, n.d.: 495). Ini menunjukkan penghormatan yang besar dari Imam Shafi'i kepada Sayyidah Nafisah.
Menurut al-Sha'rawi (n.d.), Imam Shafi‘i bukanlah satu-satunya ulama di Mesir yang biasa mengunjungi Sayyidah
Nafisah dan mendapatkan manfaat dari ilmu dan ketakwaannya. Beberapa ulama dan sufi sering mengunjunginya – komunikasi dengan lelaki yang bukan mahram biasanya dilakukan di balik hijab – di antaranya adalah Dhu al-Nun al-Misri dan Abu al-Hasan ibn Ali ibn Ibrahim yang menulis tentang tata bahasa al-Qur'an.
Semasa hidupnya, kehidupan Sayyidina Nafisah dipenuhi oleh ibadah, walaupun tubuhnya sangat lemah. Berkenaan dengan rutinitasnya, keponakannya Zainab yang menemaninya selama 40 tahun menyaksikan bahwa ia tidak pernah tidur di malam hari dan tidak pernah makan di siang hari. Pada suatu hari ia berkata pada Sayyidah Nafisah, “Engkau harus memperhatikan keadaan dirimu." Sayyidah menjawab, “Bagaimana saya bisa memperhatikan keadaan diriku sebelum saya berjumpa dengan Tuhanku? Di hadapanku ada banyak rintangan yang tidak dapat dilampaui kecuali oleh seorang yang sukses (al-faizun) (ash Sha'rawi,n.d.).
Para sejarawan sepakat bahwa ia wafat pada bulan Ramadan tahun 208/824 (al-Dhahabi, 1996: 106; Ibn Kathir, 1998:171; Ibn Khallikan, 1868: 575; Ibn Taghribirdi, 1972: 186; al-Yafi'i, 1997: 33).
Keadaannya semakin melemah menjelang wafatnya, tetapi ia terus berpuasa. Orang-orang menasihatinya untuk berbuka, disebabkan keadaan fisiknya. Ia berkata, “Selama 30 tahun saya berdoa agar saya berjumpa dengan Allah dalam keadaan berpuasa, dan saya harus berbuka (membatalkan puasa) sekarang? Itu tidak akan terjadi.” Setelah itu ia membaca Surat al-An'am dan ayat terakhir yang ia baca adalah “Bagi mereka (disediakan) darussalam (syurga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.” (QS 6: 127). Kabar wafatnya menyebabkan orang-orang berdatangan dari penjuru negeri dan tangisan terdengar di rumah-rumah penduduk Mesir. (al-Munawi, n.d.: 494).
Komentar
Posting Komentar