Menggali ke Puncak Hati : Menajamkan 10 Neraca Perbaikan Diri
Menggali ke Puncak Hati : Menajamkan 10 Neraca Perbaikan Diri. Pro-U Media.
Salim A. Fillah [2015]
Belenggu Pertama: Kebodohan Diri
Dan janganlah kamu ikuti apa yang kau tak miliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan fuad (hati), semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. (Q.s. Al-Israa' [17]: 36)
Orang jahiliyyah di Makkah, menganggap baik membunuh anaknya, khususnya yang perempuan. Mengapa? Karena mereka mengira bahwa hal itu mengikuti Nabi Ibrahim a.s. yang menyembelih Isma'il atas perintah Allah---padahal, di akhir kisah Allah mengganti Isma'il dengan seekor kambing gibas.
Gara-gara menganalogikan Allah sebagai sesuatu yang karena sangat tingginya tak dapat didekati, mereka mengira, tuhan-tuhan kecil---benda atau manusia yang dianggap mewakili Allah---bisa menjadi perantara menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ternyata, banyak sekali kebodohan yang menghasilkan kesesatan.
Allah tidak menghukum kita lantaran kita tidak tahu, begitu kata Imam Al Ghazali. Tetapi justru Allah mengadzab siapa pun yang tidak mau tahu. Kemauan untuk tahu itulah yang diwujudkan dalam bentuk terus-menerus belajar. Istilahnya, kita belajar dan beramal menjemput hidayah. Ketika kita mengubah sikap mental kepada Allah, dari tidak mau tahu menjadi peduli; dari berburuk sangka menjadi ber- husnuzhan; dan dari ragu menjadi yakin pada-Nya; saat itulah Allah akan menunjukkan jalan-Nya kepada kita.
Belenggu Kedua: Hawa Nafsu Pribadi
Tiadakah kamu lihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya, dan Allah menyesatkannya atas ilmu? Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan pada penglihatannya...(Q.s. Al-Jaatsiyah [45]: 23)
Pengennya kita hidup bebas di dunia ini. Mengikuti kata hati. Nggak usah bertanggung jawab pada siapa pun, dan---yang paling penting, tapi paling nggak mungkin---akibat perbuatan kita selalu menyenangkan. Enak, ya, bisa begitu. Padahal, ini bukan kebebasan. Ini adalah belenggu. Coba kita lihat sederhananya saja. Allah menggambarkannya pada ayat di atas sebagai terkunci mati pendengaran dan hatinya serta ada tutupan pada penglihatannya. Ini namanya "membabi buta". Sudah babi, buta lagi.
Babi ini nggak bisa berbelok kalau larinya sangat cepat. Nggak lihat sana-sini lagi. Jadinya, ya itu, nabrak-nabrak. Kalau hidup mempertuhan hawa nafsu pasti nabrak-nabrak. Nabrak orang-orang terkasih (minta duit terus dan nggak mau kerja, misalnya), nabrak tetangga-tetangga (mereka pasti risi sama ulah-ulah kita), nabrak masyarakat, nabrak negara (pak polisi pasti pasang tampang syuerem, kecuali antum nyogok), dan yang paling fatal, nabrak Allah dan Rasul-Nya.
Nah, yang pengen nabrak-nabrak, silakan jadi hamba hawa nafsu. Cuman siksa Allah amat keras. Jadi, kalau sampai nabrak, pasti sakit banget.
Belenggu Ketiga: Bisikan Syaithan
Syaithan itu memberikan janji-janji pada mereka, dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal tiadalah syaithan itu menjanjikan kepada mereka selain tipuan belaka.(Q.s. An-Nisaa' [4]: 120)*
Ini sih jelas. Syaithan adalah kambing hitam kita yang setia. Dikit-dikit kalau maksiat, nyalahin syaithan kan? Cuman kita mesti tahu bagaimana cara kerja syaithan. Syaithan yang di kuburan cuma sedikit. Yang banyak malahan di mall megah atau pasar. Menurut hadits lho, pasar adalah istana syaithan. Syaithan tugasnya menggoda manusia hidup, bukan yang sudah jadi mayat. Jadi buat apa syaithan ngeceng di kuburan?
Pokoknya, dimana ada manusia, syaithan pasti terus mencari peluang menjerumuskan. Di kamar lagi melamun, awas syaithan masuk ke imajinasi. Di masjid lagi shalat, awas syaithan menyuruh kita pamer ibadah. Pokoknya semua aktivitas kita tak luput dari kerja-kerja syaithan untuk menjadikan kita temannya di neraka.
Solusinya? Yak. Wahai syaithan, engkau musuhku... selamanya!
Belenggu Keempat: Kesombongan Intelektual
Yuri Gagarin begitu bangga bisa mengorbit di angkasa, seolah ia telah mewujudkan mimpi empat milenium Fir'aun untuk mencari---dan membuktikan ketiadaan---sesembahan Musa. "Saya tidak menemukan tuhan di langit!" kata Yuri setelah sukses mendarat.
Dan berkatalah Fir'aun, "Hai Haman, buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu. (Yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Sesembahan Musa. Dan sesungguhnya aku menganggapnya seorang pendusta....(Q.s. Ghafir [40]: 36-37)
Yuri Gagarin baru sampai orbit bumi, ngomongnya sudah sampai langit. Kita ini manusia kecil, di kampung kecil. Jangankan itu, bumi ini pun kecil, sangat kecil dibanding sistem tata surya kita. Nah, itu pun hanya titik yang tak kelihatan di Galaksi Milky Way. Ini juga masih sangat kecil dibandingkan alam semesta. Gitu kok mau nyombong dengan ilmunya.
"Apakah ruang jagat raya ini ada batasnya?"
Ada. Kalau jawabannya ada, terus di luar batas itu ada apa?
Nggak ada. Berarti kita memang keciiil banget di antara makhluk-makhluk Allah yang lain, ya?
Belenggu Kelima: Tradisi Nenek Moyang
Jika dikatakan pada mereka, "Ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah!"; mereka menjawab, "Tetapi kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami." Apakah demikian, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?(Q.s. Al-Baqarah [2]: 170)
Wah, nak, ini sudah tradisi, turun-temurun, sejak dulu kala. Kalau nenek moyangnya benar, orangnya shalih, tradisi yang ditinggalkannya memberi manfaat dan tidak melanggar larangan agama sih OK-OK saja. Nah, kalau mereka sesat dan menyesatkan! ( 'Afwan , jangan marah!)
Kalau alasannya berbakti pada nenek moyang, untuk menghargai mereka, de es te, de es te, sepertinya bukan begini cara yang tepat. Doakan saja mereka diampuni dosanya, lanjutkan silaturrahimnya, pelihara tradisinya yang baik-baik (shadaqah, misalnya) tanpa harus nabrak aturan agama.
Belenggu Keenam: Perilaku Mayoritas Manusia
Dan jika kamu taati kebanyakan manusia di muka bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan saja, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta. (Q.s. Al-An'aam [6]: 116)
"Islam dimulai dalam keadaan asing," demikian sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad. Dan nantinya, akan kembali menjadi asing. Jadi, jangan terlalu difikirkan kalau setelah mendalami dan mengamalkan Islam secara intensif, kamu terasa asing bagi yang lain. Allah memberi sifat bagi kebanyakan manusia di dalam Al-Qur'an, biasanya dengan predikat buruk. Kebanyakan mereka tidak mengerti; kebanyakan mereka tidak mengetahui; kebanyakan mereka adalah orang fasiq; kebanyakan mereka mengingkari; dan banyak lagi lainnya.
Namun, ada yang perlu kita ingat. Menjadi asing bukan berarti mengasingkan diri dan sibuk dengan dunia kita. Kita tetap harus peduli, berbaur tanpa lebur, dan berusaha agar "orang asing" ini semakin banyak. Ajak-ajak dong! Mengapa begitu? Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya, "Berbahagialah orang-orang asing." Siapakah orang asing itu wahai Rasulallah? "Yaitu orang-orang yang senantiasa melakukan perbaikan di saat kebanyakan orang berbuat kerusakan."
Nah, Rasulullah berharap kita menjadi asing bukan karena memisahkan diri dan bersembunyi. Namun, kita menjadi asing karena prinsip hidup kita, kerja-kerja kita yang unik di tengah masyarakat. Jujur itu asing, karena banyak koruptor. Shadaqah itu asing, karena banyak orang pelit. Sederhana itu asing, karena banyak orang hedonis. Yakin kepada Allah itu asing, kalau banyak orang yang tak lagi percaya kepada-Nya. Mewujudkan syari'at Islam itu asing, karena banyak yang lebih percaya pada hukum buatan manusia.
Nah, ada banyak hal yang mesti kita kerjakan.
Belenggu Ketujuh: Pers Yang Semiotik
Apa itu semiotika? Semiotika, kata Umberto Eco, penulis Il Namo de La Rossa, adalah "seni berbohong". Selalu ada kepentingan yang melatari cara manusia mengungkapkan suatu fakta ke dalam berita. Kita sepertinya juga sering---minimal pernah---melakukannya. Kalau ada suatu kejadian yang melibatkan teman dekat kita, misalnya, kita akan memberi sedikit bumbu dan bunga kata agar teman kita itu terkesan tidak bersalah, atau hanya sedikit bersalah. Atau sebaliknya.
Meminjam istilah Ustadz Rahmat Abdullah, Al-Qur'an menyebut semiotika kebathilan sebagai Zu-Qou-Ghu. Bukan bahasa Cina, tapi zukhrufal qauli ghuruura. Artinya, perkataan berhias yang menipu. Riba disebut bunga; pornografi disebut seni; zina disebut ekspresi cinta. Asas semiotika pers sepertinya berbunyi : "Kebohongan yang secara intens dipublikasikan adalah kebenaran".
Dan demikianlah, Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.... (Q.s. Al-An'aam [6]: 112)
Belenggu Kedelapan: Pengaruh Propaganda Penguasa
Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya, lalu mereka patuh kepadanya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasiq. *(Q.s. Az-Zukhruf [43]: 54)*
Pemimpinnya punya karisma, kuat legitimasi kekuasaannya, dan punya kepentingan pribadi yang besar. Dia takut kehilangan kekuasaan kalau mengikuti kebenaran. Maka dipropagandakanlah hal itu pada rakyat yang sendiko dhawuh. Klop kan? Lihat juga bagaimana pemimpin kaum Nuh dengan sangat lihai melakukan pencitraan buruk dan pembunuhan karakter terhadap para pengikut kebenaran berikut ini:
Maka pemimpin-pemimpin kaumnya yang kafir berkata, "Kami melihatmu tak ubahnya sebagai seorang manusia seperti kami. Dan kami lihat tiadalah orang yang mengikutimu melainkan orang-orang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja. Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin kalian adalah orang-orang yang berdusta! (Q.s. Huud [11]: 27)
Nah. Hati-hati dan kritislah pada propaganda penguasa. Tentang banyak hal. Pencitraan kelompok, kebijakan, bahkan pun program-program pembangunan. Masih ingat hadits tentang penghulu syuhada'? Iya. Ada dua: Hamzah ibn 'Abdul Muthalib dan seseorang yang menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zhalim, lalu ia dibunuh. Kritis, memihak kebenaran, seperti pelafal kata-kata ini:
"Telunjuk yang setiap hari mempersaksikan keesaan Allah dalam tasyahud ini, menolak menuliskan satu kata pun untuk mengakui kekuasaan tiran yang menentang hukum-hukum Allah". (Sayyid Quthb kepada Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser)
Belenggu Kesembilan: Idola yang Menyesatkan
Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, dan janganlah kalian ikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya... (Q.s. Al-A'raaf [7]: 3)
Idola, selalu membawa ideologi. Dari yang sederhana, ideologi berpakaian. Sampai yang merasuk, ideologi yang menentukan cara pandang terhadap kehidupan, kemanusiaan, dan peribadahan. Kalau ada kata "cinta" dalam idola, maka berhati-hatilah. Kata Rasul, "Engkau akan bersama yang kau cintai di akhirat kelak."
Antum tidak akan pernah bisa melebihi idola Antum! Ini prinsip, meski ada pengecualian untuk ikhtiyar khusus. Kalau begitu, mengapa tidak pilih idola yang terbaik? 'Afwan, izinkan saya untuk memilih kata " tokoh anutan".
Sepakatlah bahwa tokoh panutan itu harus memiliki kriteria tertentu.
Pertama,h jelas bahwa dia adalah tokoh yang memang ada. Kalau nggak ada, buat apa dianut?
Kedua, kehidupannya harus lengkap tercatat secara objektif, tanpa bumbu-bumbu palsu dan "pemanis buatan". Kalau riwayat hidupnya palsu dan disamarkan, kita juga bisa buat itu untuk siapa pun.
Ketiga, isi hidupnya sedapat mungkin sesuai dengan kondisi kita. Kalau muke lu jauh, bagaimana bisa menjiwai?
Keempat, ini yang jarang ada, kita pilih yang kehidupannya tanpa cacat, terutama di penghujungnya.
Kelima, ini yang terpenting, dia harus benar-benar bisa dan mungkin untuk dicontoh.
Soalnya, buat apa kalau nggak bisa DICONTOH?
Pertama, pasti anda setuju bahwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah figur sejarah dan kesejarahannya tak terbantahkan. Beliau bukan tokoh fiktif, rekaan, mitos, legenda, ataupun cerita rakya. Beliau benar-benar nyata.
Kedua, tak ada satu pun tokoh sejarah yang riwayat hidupnya, tindak tanduknya, ucapannya, cara hidupnya, dan seluruh pernik kesehariannya tercatap selengkap Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bahkan catatan itu pun dibuat seteliti mungkin, dibersihkan dari praduga, kira-kira, dan segala syak.
Ketiga, ada alasan lain yang membuat seorang Muslim tidak bisa tidak harus menjadikannya sebagai uswah dan qudwah. Kehidupan beliau begitu multidimensi, merangkum semua kemuliaan yang harus dimiliki seorang mukmin dalam posisi apa pun yang ia duduki. Kaya iya, miskin juga sering. Bangsawan iya, tapi hidupnya menjelata. Suami yang membina rumah tangga dengan satu istri, pernah. Dengan beberapa istri, juga pernah.
Keempat, hanya beliau satu-satunya tokoh yang seluruh sisi perjalanan hidupnya lengkap tercatat, dan sungguh semua itu tanpa cacat!
Kelima, bahwa beliau adalah manusia, tentu menjadi alasan tersendiri untuk di contoh ummatnya yang juga sama-sama manusia. Ummat ini beruntung, tidak diperintahkan untuk meneladani "manusia setengah dewa" dalam mitos dan legenda seperti di Yunani, ataupun meniru para "titisan dewa" dalam Ramayana dan Mahabharata. Ummat ini "hanya" diperintahkan untuk mencontoh seorang manusia lain yang berpredikat hamba Allah dan Rasul-Nya.
Sungguh telah ada bagi kalian, pada diri Rasulillah itu suri teladan yang baik. Bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah, dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah. (Q.s. Al-Ahzab [33]: 21)
Mengapa beliau layak?
Beliau adalah bukti, bahwa Al-Qur'an---pedoman hidup abadi semua manusia yang datang dari pencipta-Nya---bisa terimplementasi dalam hidup sehari-hari. Kata 'Aisyah, "Kaana khuluquhul Qur'aan! "Akhlaqnya adalah Al-Qur'an!*. Siapalah yang menyangsikan akhlaqnya sementara sertifikat langit menjaminnya.
Dan sesungguhnya, engkau berada di atas akhlaq yang agung! (Q.s Al-Qalam [68]: 4)
Belenggu Kesepuluh: Gaya Hidup Orang Kafir
Keterpesonaan pada gaya hidup orang kafir adalah belenggu selanjutnya. Wah, yang sesat kita apa mereka, ya? Kok mereka maju, tapi kita terbelakang? Tentu saja kesesatan dan hidayah tidak terlalu tepat jika diukur dengan kemajuan materi. Sayangnya, kalimat ini tak begitu merasuk : "Barat maju saat meninggalkan Bible, Muslimin mundur saat meninggalkan Qur'an".
Nah, terkadang Allah berkenan mendudukkan kita pada kondisi "susah" agar semangat perjuangan terpelihara. Orang yang terlalu berleha menikmati dunia, kadang paling dekat dengan kebinasaan. Ketika memasuki istana megah Kisra Yazdajird Sassaniyah di Madain, ibu kota Persia yang ditaklukkannya, Sa'ad ibn Abu Waqqash sambil berlinang membaca ayat ini:
"Alangkah banyaknya taman dan air yang mereka tinggalkan, dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang sangat indah, dan kesenangan yang mereka nikmati. Demikianlah, dan kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka tidak diberi tangguh." (Q.s. Ad-Dukhan [44]: 25-29)
Miskin atau kaya; maju atau terbelakang; ada sikap yang bisa kita contoh dari penguasa Saudi yang shalih dan dibunuh agen CIA lewat keponakannya di tahun 1970-an. Raja Faishal ibn Abdul 'Aziz Alu Su'ud. Saat dia menyerukan embargo minyak pada AS dan Israel, Menlu AS Henry Kissinger mencoba meyakinkannya bahwa mengembargo Amerika adalah kerugian karena impor Saudi dari AS sangat besar. Apa jawabnya?
Dia ajak sang menteri ke tengah padang pasir, lalu berhenti di sebuah oase yang ditumbuhi pohon kurma, lalu ada unta ditambat di sana. "Kami tidak butuh makanan dan minuman dari Anda karena inilah makanan dan minuman nenek moyang kami berabad-abad: kurma, air, susu kambing. Kendaraan? Kami punya unta yang takkan mungkin disaingi mobil-mobil buatan Amerika dalam kemampuannya mengarungi padang pasir!"
[Pens : chy & api]
#MengembangkanLiterasi
#MengukirArti
#MengejarRidhoIlahi
Komentar
Posting Komentar